Showing posts with label #15HariNgeblogFF. Show all posts
Showing posts with label #15HariNgeblogFF. Show all posts

Payung Ungu Amela

Thursday, March 22, 2012




 “ Mama, Amela mau payungnya yang warna ungu ya ma”

Sore itu sehabis latihan menari di sanggar tari tante Citra, Amela langsung laporan sama mama. Dua bulan lagi sanggar tari Bina Karya, tempat Amela menghabiskan tiga hari dalam seminggu setiap sore sepulang ngaji di madrasah ibtidaiyah, akan tampil di salah satu televisi swasta dalam acara “Pentas Seni Anak Indonesia”.

Mereka akan membawakan tari payung, jadi setiap anak harus mempunyai payung kecil sebagai property tarian mereka. Latihan dimulai minggu depan. Amela gembira sekali, dari tadi bibir mungilnya asik berceloteh kepada mamanya. Mama tersenyum melihat antusias Amela yang begitu menggebu-gebu.

“ Kata mba Putri, nanti akan dipilih sepuluh orang ma untuk ikut acara itu” sambil mengunyah nasi yang disuapkan mama ke mulutnya, Amela masih bercerita.

“ Amela pengen ikut ma”

“ Iya Amel, makan dulu yah, nanti dilanjutkan ceritanya, ntar kamu keselek lho” 

“ Payungnya ungu ya ma, jangan lupa” 

Hihihi walaupun sudah diingatkan mama, tetep saja Amela melanjutkan ocehannya. Dasar bocah.

***

 Tubuh mungil amela meliuk-liuk lincah mengikuti  alunan musik dari soundsystem di sanggar tari Bina Karya. 

Amela memang suka sekali menari. Setiap mendengar musik di televise ataupun dari tape mobil otomatis dia akan mengikuti gerak-gerik para penyanyi imut imut itu , apa tuh namanya, hmm ya ya “ Cherry Belle”.

Pinggul goyang ke kiri, goyang ke kanan. Berputar-putar. Ah lucu sekali melihatnya.

Diam-diam mama sering memergoki Amela lagi mematut-matut diri di kaca sambil menari. Terkadang ia menirukan tarian yang sering diperagakan sinden di Opera Van Java. Selendang mama pun jadi korban untuk melengkapi aksinya. Selendang diikat di pinggang, kadang ia mengalungkannya di bahu. Mulailah Amela mengibas-ngibaskan selendang tersebut persis seperti aksi lempar sampur.

“ Iya jeng, anak saya si Amela tuh gimana yah…. gak bisa diem di rumah. Bawaannya mau nari aja. Pusing saya melihatnya"

Mamanya Amela mengeluhkan kebiasaan Amela yang selalu always, menari dimanapun. Bahkan kemarin waktu mama minta Amel bantuin nyusun piring di meja makan untuk makan malam, sambil membawa piring dan gelas kakinya melonjak-lonjak riang. Malang si manis tiba-tiba muncul, kaki Amela tersandung si Manis,Prang…. Tak ayal piring dan gelas di tangan Amela mendarat dengan suara krompayangan di lantai. Hihihihi, 

“ Ya sudah jeng, Amela dimasukin ke sanggar tari aja, kayak anak saya.

“ Horeeee, Amela seneng banget waktu mama mengantarkannya ke Bina Karya, sanggar tarinya Tante Citra, adik mama.

Dan sekarang, mama sedang memperhatikan putri bungsunya itu menari. Ah Amela memang berbakat.

Mama menyempatkan diri menjemput Amela sepulang dari kantor, sekalian mau ngasi kejutan ke Amela. Mama sudah membawa payung ungu yang diminta Amela. Payung kecil yang sangat cantik.

“ Baik, latihan hari ini cukup. Minggu depan kita akan mulai berlatih tari payung ya ya. Jangan lupa bawa payungnya ya,’ kata Mba Putri, guru tari Amela

***

Mama mengelus lembut kening putri bungsunya itu. Terdengar dengkuran halus Amela. Titik-titik keringat membasahi dahinya. Secara berkala mama mengganti kompres hangat di kening Amela.

Ya, sudah tiga hari ini Amela demam,mama langsung izin tidak masuk kantor untuk merawat Amela. Padahal minggu depan adalah jadwal Amel tampil di televisi. Mudah-mudahan Amela segera sembuh, kalau tidak ia pasti kecewa sekali tidak dapat ikut di acara tersebut.

Pagi tadi demamnya sudah turun. Amela sudah kelihatan sehat. Karena sudah tiga hari tidak kerja, pagi ini mama kembali berangkat ke kantor. Lagian Amela sudah baikan, bisa ditinggal dengan si mbok.

***

Sudah lebih dari tiga jam, mama memandangi foto putri bungsunya. Amela tersenyum manis sekali. Perlahan, airmata merembes kembali di pipinya. Bahunya terguncang-guncang menahan isak yang berdesakan ingin keluar. Penyesalahan yang menggerogoti hatinya tidak bisa hilang begitu saja.

“ Maafin mama Amel” lirih suara mama sambil mengelus foto Amela.

Tadi siang pemakaman Amela telah selesai dilaksanakan. DBD, penyakit itu yang merenggut nyawa kecil Amela.

Mama tidak tahu kalau demamnya Amela beberapa hari yang lalu disebabkan virus Dengue penyebab DBD. Maka saat panas tubuh Amela turun di hari keempat, keesokan harinya mama langsung memutuskan masuk kantor, meninggalkan Amela dengan si mbok. 

Ternyata saat itu justru fase kritis nya Amela, dimana demam terlihat seolah-olah sembuh, padahal kenyataannya telah terjadi pembocoran pembuluh darah. Harusnya Amela banyak minum cairan saat fase ini. Tiap jam ia harus minum dan harus buang air kecil 4-6 jam sekali. Si mbok mana ngerti hal-hal kaya gitu. Apalagi dilihatnya Amela seperti sudah sehat. Memang masih lemas, tapi suhu badannya normal.

***

“ Amela ini payung kamu sayang, mama letakin disini ya, biar kamu ga kehujanan”

Mama menancapkan payung itu di atas makam Amela. Sambil tersenyum sendu , mama meninggalkan TPU tersebut.

“ Mimpi indah Amela, menarilah bersama bidadari “

Payung ungu itu memayungi nisan Amela. 


Gambar dari sini


Gaun Merah

Wednesday, March 14, 2012
Pagi ini, kulakukan kegiatan yang sudah hampir setahun ini aku lakukan setiap hari. Ya, sebagai seorang buruh cuci di kost-kostan milik Pak Abdul ini, pekerjaanku setiap pagi hari adalah berjalan dari satu pintu kamar ke pintu kamar, mengambil baju kotor milik para penghuni kost yang berjumlah 20 orang, dan membawanya ke kamar mandi belakang untuk segera kucuci. Siang hari, kujemur pakaian-pakaian itu berjejer di tali jemuran yang dipasang di atas bangunan kostan Pak Abdul ini. Sore harinya, pakaian-pakaian tersebut , baik yang sudah kering maupun masih lembab, kusetrika dan kulipat rapi agar pagi harinya pakaian-pakaian tersebut sudah tertumpuk rapi di depan pintu kamar masing-masing  penghuni kostan.

Aku sudah berada di depan pintu kamar no. 16. Penghuni kamar ini adalah Mba Siska, seorang perempuan mungkin berumur sekitar 18 tahunan, seumuran dengan anakku satu-satunya Yuni. Sepertinya Mba Siska ini adalah anak orang kaya. Hal itu aku simpulkan dari baju-baju yang ia miliki, yang setiap hari ia letakkan di depan pintu kamarnya untuk kucuci. Tak terkecuali hari ini.
Saat kuangkat sehelai kaos dari depan pintu kamar Mba Siska, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Melongoklah dari dalam kamar sebuah wajah perempuan ayu yang sedari tadi melintas di pikirku, Mba Siska.

“Bik, ini satu lagi bik.”, kata Mba Siska kepadaku seraya menyerahkan sepotong pakaian kepadaku. Sebuah gaun merah tanpa lengan.

“Bik, tolong khusus yang ini nyucinya hati-hati ya Bik. Karena gaun ini bahannya gampang melar, jadi tolong yang ati-ati ya Bik nyucinya.”, ucapnya lagi menambahkan.

“Iya Mba Siska. Saya akan hati-hati nyuci baju ini.”, kataku menjawabnya sembari menganggukan kepala.

“Sabtu ini udah bisa kering kan Bik? Soalnya lusa mau saya pakai buat ke pesta” tanyanya.
Kupikir sejenak.

“Sabtu kan. Itu artinya masih 4 hari lagi. Semoga saja hujan tidak turun nanti siang.”
“Bisa Mba. Saya janji Sabtu sudah tertumpuk rapi di depan kamar ini Mba.”, jawabku meyakinkannya.

“Oke Bik. Saya masuk kamar lagi ya.”, kata Mba Siska kepadaku. Segera dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Aku pun kembali sendiri di depan pintu kamarnya. Kuteruskan lagi pekerjaanku mengambil potong demi potong pakaian yang diletakkan di ember yang ada di depan tiap pintu kamar.

Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang ada di belakang kost-kostan ini.

****
Kukucek perlahan gaun merah milik Mba Siska. Benar-benar perlahan, karena aku takut gaun ini menjadi rusak atau melar. Memang bahan gaun ini terasa lebih lembut dan gampang melar.

“Harga gaun ini pasti mahal. Mungkin sama dengan gajiku sebulan disini yang cuma empat ratus ribu.”

Sengaja kupisahkan gaun merah itu dari cucianku lainnya. Kuletakkan ke dalam ember tersendiri, terpisah dari pakaian kotor lainnya yang kurendam dalam baskom warna hitam. Pokoknya aku benar-benar ingin menjaga agar pakaian itu tidak kusut, tidak melar dan tidak rusak. Gaun itu istimewa bagiku.

Andai saja anakku bisa mengenakan gaun seperti ini di hari ulang tahunnya besok, pasti dia akan senang sekali”
“Tapi mana mungkin aku bisa membelikannya...”
Rasanya aku ini tak pantas disebut ibu yang baik, yang setiap anaknya ulang tahun tak pernah sekalipun memberi hadiah”

Perlahan, air mata mengalir turun dari mataku.

******
Sambil menyeterika pakaian yang telah dicuci emak siang tadi, Yuni bersenandung lirih. Takut membangunkan emak yang terbaring di bilik sebelah. Emak lagi tidak enak badan, demam. Tidak biasa-biasanya emak begitu, sepertinya emak lagi banyak pikiran.

Ia selalu terhibur kala menyeterika pakaian-pakaian itu. moment yang sangat dinikmatinya. Ah beruntungnya mereka bisa mengenakan pakain-pakaian bagus ini pikir Yuni. Pakaian sekeranjang besar itu sudah hampir selesai, saat matanya tertumbuk pada sepotong gaun merah.

Perlahan diangkatnya gaun itu, seukuran dengan tubuhnya. Hmm indahnya. Tiba-tiba terlintas dipikirannya untuk sekedar mencoba, sepertinya pas.

Yuni tersenyum –senyum sendiri melihat bayangannya di cermin. Oh cantiknya. Gaun itu melekat sempurna di tubuh rampingnya, seolah memang dijahit sesuai ukurannya. Yuni membayangkan ia mengenakan gaun itu besok. Pasti semua orang akan terkagum-kagum melihatnya.

“ Yuni, apa yang kamu lakukan”

Suara emak membuyarkan lamunan Yuni. Entah sejak kapan emak berdiri di ambang pintu.

“ Cantik ya mak?” tanyanya

Emak tak kuasa menahan desakan air yang menggenangi retinanya. Hatinya sendu.

“ Ayo cepat buka, nanti rusak” perintah emak tergesa
Yuni segera menuruti omongan emak. Susah payah ia meraih risleting di belakang gaun. Dengan cepat ditariknya turun.

Krekk….

Ada hening menakutkan yang tercipta bersamaan dengan terlepasnya gaun itu dari tubuh Yuni.


NB: Tulisan ini adalah tulisan saya (@winditeguh) dan (@rbennymurdhani)

Baca Tulisan Bennymurdhani disini

Aku sakit, gara-gara kamu, Gigi !!!!!

Monday, March 12, 2012
Sambil menakar satu persatu bahan praktikum kimia organic, mata Gio tak lepas memperhatikan dua sosok manusia yang sedang tertawa-tawa  disana, berjarak dua meter dari meja kerjanya.

Reaksi asam sulfat pekat dan alkana yang mendesis-desis di dalam tabung reaksi seolah-olah menggambarkan suara –suara berisik di kepalanya. 

Dan oh oh lihatlah, dengan terpaksa kornea matanya harus menyaksikan adegan mesra Yudi mengelus-elus tangan Rianti yang sepertinya ketetesan NaOH cair. Beugh, norak umpatnya dalam hati. Jauh di sudut hati kecilnya berbisik, Ya Tuhan kenapa mereka harus sekelompok, kok bukan saya Tuhan, kenapa?? . Dalam hidupnya baru kali ini Gio menanyakan keputusan-keputusan yang diambil Tuhan.  Terutama yang berhubungan dengan makhluk manis satu itu.

Rianti adalah sahabat lamanya dulu di SMP. Mereka terpisah saat Gio melanjutkan SMA ke Surabaya mengikuti ayahnya yang pindah tugas kesana. Resiko anak tentara, hidupnya kaya kucing beranak, pindah-pindah terus. Gio masih ingat, Rianti yang imut dengan rambut yang dikuncir tengah , matanya merah saat Gio pamit di depan kelas. 

Hatinya bersorak riang, saat melihat sosok Rianti di hari pertama Ospek jurusan Teknik Kimia. Ssst, Gio memang sudah jatuh hati pada Rianti dari dulu sejak mereka masih mengenakan baju putih biru. Gio sudah membayangkan hari-hari yang akan dilaluinya selama kuliah. Ada Rianti dimana-mana. Alunan biola pun mengiringi lamunan indah Gio.

Namun tiba-tiba, tass senar biola tersebut putus, menghentikan nada merdu yang dihasilkan dawainya saat seorang Yudi datang mengusik. 

Yudi, teman sekos Gio,  typical cowok-cowok yang diigilai cewek. Organisator sejati, ada di setiap acara jurusan. Wajahnya tidak setampan Gio, namun ia mempunyai kemampuan membius orang dengan kata-katanya. Pesona bung Karno. 

Cowok ini mulai ada di tengah-tengah antara dia dan Rianti saat malam inagurasi berlangsung. Saat itu mahasiswa baru wajib mempersembahkan sebuah pertunjukan, salah satunya band. Gio, Yudi dan Rianti tergabung dalam band tersebut. Gio vokalis, sedangkan Yudi gitaris, Rianti backing vocal. Kebersamaan mereka bertiga terjalin di hari-hari latihan sepulang kuliah.

Naas bagi Gio, saat Hari H, ia menderita sakit gigi yang dibundling sepaket dengan gusi bengkak. Jangankan untuk menyanyi, berbicara saja sakitnya bukan main. Syukurlah ( kata siapa syukur?) selama latihan Yudi sering mengiringi gitar sambil ikut bernyanyi. 

Malam itu Yudi tampil sangat memukau, seorang gitaris yang juga gape menyanyi. Semua mata cewek di acara tersebut berbinar-binar mupeng mendengar dentingan gitar Yudi berkolaborasi dengan suara merdunya melantunkan lagu just the way you are nya Bruno Mars. Tak terkecuali Rianti. Entah sengaja atau tidak, setiap bait "just the way you are", Yudi selalu menatap ke arah Rianti sang backing Vocal.

Yah setelah itu silahkan lanjutkan sendiri ceritanya.

Hati Gio sakit banget. Tidak tahu harus menyalahkan siapa.Satu-satunya yang patut disalahkan adalah si biang kerok. Sambil bergumam, Gio mengumpat.
Aku sakit, gara-gara kamu, Gigi !!!!!


#ForYoungerMe: 16 years old me

Friday, February 17, 2012
Dear Indi…..

Indi… yah kamu suka sekali dipanggil dengan nama itu. Hanya satu orang yang memanggilmu dengan sebutan itu. Hatimu mekar setiap kali mendengarnya. Senyummu akan terkembang lebar saat ia menatapmu. Bahkan semua perhatian-perhatian kecilnya, membuat jantungmu bekerja lebih keras memompa darah ke seluruh pembuluh di tubuhmu

Aku Benci kamu Hari Ini

Thursday, January 19, 2012

Tak berkedip mataku memandang tubuh yang terbujur di hadapanku. Sudah semalaman aku mengawasi, menjaganya tanpa kenal lelah.

Fuad nama pemuda itu, sejak kemarin air raksa yang berada dalam thermometer pengukur suhu tubuhnya, belum menunjukkan tanda-tanda akan beringsut turun. Dengan sabar kubelai tubuhnya , kuhalau makhluk-makhluk kecil yang berterbangan dengan suara mendesing agar tak terusik lelap tidurnya. Dengan lirih kusenandungkan lagu-lagu yang akan semakin menina bobokan siapapun yang mendengar.

Tik tok tik tok, bunyi jam dinding di kamar Fuad, jarum mulai bergeser sedikit demi sedikit dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menit lagi hampir mendekati sepertiga malam.

Fuad mulai gelisah dalam tidurnya, posisi tubuhnya sudah bergeser kesana kemari. Sebentar ke kanan, sebentar ke kiri.

Aku pun gelisah melihatnya , tugasku adalah untuk menjaga tidurnya, perlahan kutiupkan angin lembut agar ia tenang kembali. Syukurlah sepertinya ia berangsur tenggelam lagi ke dalam mimpi indah yang menyelimutinya.

Kuelus  ubun-ubunnya dengan hati-hati, konon katanya hal itu akan memberi efek menenangkan. Matanya yang tadi berkedut-kedut mulai diam, dengkur halus terdengar dari sela-sela nafasnya. Ah betapa damai melihat ia terlena seperti ini.

Jarum jam masih berdetak, bergeser ke menit berikutnya.

Kulihat Fuad mulai bergerak-gerak kembali. Tangannya bergeser ke arah perut, raut wajahnya seperti sedang menahan sesuatu, mungkin ia ingin buang air kecil pikirku. Tapi , kalau ia bangun, tidurnya pasti akan terganggu. Kubisikkan kata-kata lirih di telinganya, menyuruhnya menahan sebentar sampai pagi hari. Kubelai rambut hitamnya, berusaha menidurkannya kembali.

Tirititit tididtitit tididitit…… Tiba tiba terdengar suara alarm dari sebuah benda si atas meja. Dengan terburu-buru aku berusaha menghentikan suara-suara itu. Tapi, ah aku tak mengerti bagaimana caranya, aku belum familiar dengan benda yang namanya henpon ini, yang kutahu biasanya jam weker, kalau alarm HP aku belum menguasai seluk beluk fitur-fitur di dalamnya.

Dengan pasrah, kulihat Fuad mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Menggeliat ke kanan dan ke kiri. Menguap sebentar,” Hooooam, Astaghfirullah hampir terlewat” gumamnya. Terlepaslah tali halus yang tadi kulingkarkan di kepalanya. Dengan susah payah ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan wudhu, lalu kulihat ia membentangkan sajadah. Tubuhnya sangat lemah, aku berusaha membujuknya agar tidak memaksakan diri, tampaknya ia tak mau mendengarkanku. Ah sakit hati ini. Dengan sekuat tenaga didirikannya rakaat demi rakaat sholat lail.

Ughhh dasar keras kepala, pikirku. Dengan galak kupandangi HP yang punya andil membangunkannya. Dengan penuh dendam aku menatapnya. “ Aku benci kamu hari ini” kataku . Ah percuma saja, ia hanya benda mati.

Bukan dia yang harus kubenci, Kualihkan pandanganku ke Fuad, dengan muak aku menatapnya “ Aku benci kamu hari ini, Fuad” ,

Dengan geram akhirnya kutinggalkan kamar itu. Besok aku akan datang lagi.


*****

Disini….., semua sudah berkumpul, melaporkan tugasnya masing-masing. Aku tertunduk malu , dengan takut-takut kutatap wajah di hadapanku , “ Maaf, saya gagal, imannya terlalu kuat” laporku pada si raja iblis.








Ada Dia Dimatamu

Tuesday, January 17, 2012
Untuk kesekian kalinya, aku dan kamu mendatangi tempat ini. Warung kopi Aceh di antara ruko-ruko pasar Petisah kota Medan. Katamu, ini satu-satunya tempat yang tidak akan mungkin didatanginya. Pertama, karena daerah ini tidak termasuk dalam list tujuan belanjanya. Kedua, karena interior warung ini yang sangat jauh dari seleranya, dan ketiga karena ia tidak suka kopi.

Ah alasan, pikirku, bilang saja karena semua yang disajikan disini murah, titik. Tak perlulah kau berbasa basi begitu. Aku mengenalmu, bahkan lebih mengenalmu dibanding dia yang katanya sangat mencintaimu. Sifat hematmu yang hampir mendekati pelit kepadaku, sebenarnya sudah mencerminkan posisiku di hatimu. Tapi aku tidak peduli. Bisa menghabiskan waktu berdua denganmu di sela-sela rutinitas pekerjaan kita pun sudah merupakan kesenangan yang langka.

“ Maafkan aku Tyra” katamu

Kata itu berulangkali kau ucapkan padaku. Aku tidak butuh itu. Seharusnya aku yang mengatakannya. Bersaing dengannya secara terang-terangan sama saja bunuh diri. Dia yang parasnya seperti Dian Sastro KW 1 manalah mungkin bisa dibandingkan dengan diriku yang bahkan untuk melamar menjadi SPG pun susah. Belum lagi bodynya yang setara dengan Titi Kamal, ah lengkaplah sudah kekuranganku. Hidupmu seharusnya sudah sempurna bersamanya, kalau saja aku tidak sekonyong-konyong hadir diantaranya. Jadi, akulah yang seharusnya meminta maaf, karena membuatmu dalam posisi ini.

“ Aku capek menghadapinya, Ty, gaya hidupnya membuatku hampir kehabisan nafas” keluhmu

Seperti yang sudah-sudah, kau pasti akan mengeluarkan uneg-unegmu di tempat ini. Tentang kelakuannya yang tidak menghargaimu, tentang hobinya yang menguras isi dompetmu, sampai tentang sikapnya yang mulai memata-matai gerak-gerikmu.

“ Bersamamu, aku tenang Tyra “ lanjutmu

Ah persetan. AKu sudah muak dengan kata-katamu barusan. Kalau memang seperti itu, kenapa tidak kau tinggalkan saja dia, dan memilihku. Bukankah itu yang kau inginkan, monolog dalam batinku.

“ Tapi aku masih begitu mencintainya Ty, dia memang keras kepala, tapi terkadang dia begitu manja padaku. Aku suka senyumnya, aku suka gesture tubuhnya, bahkan aku suka cara dia memonyongkan bibirnya saat marah padaku. Dia cinta pertamaku “

Serrrr, seperti sembilu kata-katamu. Sejenak kau lambungkan aku, beberapa detik kemudian aku terhempas lagi. Dasar lelaki. 

Baiklah ini terakhir kalinya aku menemuimu, aku tidak mau menjadi pesakitan seperti ini setiap harinya. Aku lebih berharga dari itu. Tekadku sudah bulat untuk mengatakannya padamu. 

Kau genggam tanganku. Aku menikmatinya, untuk terakhir kali pikirku. Kita saling menatap dalam diam. Tiba-tiba kulihat bayangan seseorang disana. Ada dia di matamu.

Ya, ADA DIA DIMATAMU.

Cepat kubalikkan tubuhku. Darahku berdesir. Disana berdiri seorang perempuan dengan segunung kemarahan. 

Aristy, istrimu sekaligus kakak kandungku.

Mati kamu, celakalah aku….


Aku Maunya Kamu, TITIK

Sunday, January 15, 2012
-->

"Maaf bapak, saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter di sebelah yang kosong....."

Pria itu tidak menjawab perkataanku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, kulihat ia kembali ke kursi antrian

“ Nomor antrian 567, silahkan ke counter nomor 3”

Terdengar suara lembut nan merdu dari speaker yang mengumumkan nomor antrian. Tidak ada satupun nasabah yang maju. Counter nomor tiga saat ini digawangi oleh Rinda temanku.

Tiba-tiba kulihat pria tersebut maju dan langsung mendatangi counter no 2, tempatku berdiri sekarang. Seorang ibu sedang menunggu lembaran uang yang sedang kuhitung di mesin uang.

“ Ibu, ini uangnya sebanyak lima juta rupiah, silahkan dihitung ulang”, kataku sambil tersenyum ramah mengikuti aturan standar layanan yang telah ditetapkan perusahaan

Saya mau menabung” pria itu memotong pelayanan yang sedang kulakukan.

“Maaf bapak, saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter di sebelah yang kosong.....

Aku maunya dilayani sama kamu saja” katanya keras kepala

“ baik bapak, silahkan mengantri dahulu, nanti nomor antrian bapak akan dipanggil “ jawabku sopan sambil tetap tersenyum manis

Aku ga mau dilayani sama yang lain. Aku maunya kamu, titik!! Ia mengotot

“ baik bapak, mohon menunggu sebentar, saya selesaikan dahulu transaksi ibu ini ya pak”

Adegan seperti diatas bukan baru hari ini saja kualami.Sudah beberapa hari ini ia tak pernah absen mendatangi bank tempatku bekerja. Apa yang dilakukannya seperti kebanyakan nasabah lain. Mengambil nomor antrian, mengisi slip pengambilan, mengantri sambil menunggu namanya dipanggil. Tapi ia tidak pernah mau dilayani oleh teller lain. Harus aku. Aku tidak tahu apa alasannya. Sebagai pegawai bank, aku tidak keberatan bahkan merasa senang berarti ada nasabah yang merasa nyaman dengan pelayananku, namun terkadang agak mengganggu karena pria itu sering memaksa harus aku yang melayani transaksi yang akan dilakukannya, padahal aku sedang melayani nasabah lain, dan counter di sebelahku dalam keadaaan kosong.

Aneh......

****

Rumah mewah tersebut terlihat kosong dan lengang. Aroma sepi membalut penghuni di dalamnya.Sudah lima tahun ini ia hanya seorang diri di tempat ini. Istri terkasih telah lebih dulu menemui penciptanya. Ia merasa hidupnya sudah tak ada arti lagi, sampai sebuah amplop coklat diterimanya beberapa hari lalu. 
 
Pria berumur hampir setengah abad itu termenung sambil memandangi foto seorang di dalamnya. Sambil menghela nafas, kembali di bacanya surat yang  diterimanya beserta foto tersebut.

Mas Bayu, mungkin umurku tak akan lama lagi. Kata dokter , Leukimia yang kuderita sudah tidak bisa disembuhkan. Ini foto anak kita. Maaf aku baru memberitahumu sekarang. Aku baru mengetahui kehadirannya beberapa hari setelah pernikahanku dengan Bima. Aku tidak ingin mati dengan membawa rahasia ini. Temuilah ia mas”

Dilipatnya kembali surat tersebut . Seperti yang sudah-sudah disimpannya ke dalam laci meja kerja. Kemudian ia mulai memisah-misah beberapa lembar uang seratus ribuan ke dalam beberapa amplop. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini, menabung beberapa ratus ribu rupiah setiap hari, dan berbicara sepatah dua kata kepada putra yang baru diketahuinya. Itu saja cukup, pikirnya sambil tersenyum.

Arya Bimantara, nama yang tertulis di balik foto tersebut, teller bank Duta Niaga.



Dag Dig Dug

Friday, January 13, 2012


“Aku telat” 

Uhuk…., jus jeruk yang hampir singgah ke tenggorokanku, langsung berhamburan mengotori jas lab yang kupakai.

“Bagaimana ini ,papa pasti akan membunuhku“, ia mulai terisak

Aku terdiam. Tak bisa berkata apapun. Otakku pun blank sesaat.

Tidak mungkin. Aku, Wisnu Ardhana, calon dokter spesialis kandungan, tak mungkin salah perhitungan. Tak pernah kulanggar masa suburnya, bahkan aku hapal benar kapan tamu bulanan menyambanginya.

Kupandangi wajah pacarku yang bersimbah air mata. 

Dialah Arini. Mahasiswi kedokteran tingkat 3. Siapapun akan sependapat denganku, bahwa dewi Aprodhite telah bersemayam di raganya. Memandangnya seperti melihat karya seni tiada bercela. Matanya, bibirnya,senyumnya, bahkan mimiknya saat mengernyit mencium aroma mayat pun sungguh mempesona.

Beberapa bulan lalu ia adalah obsesiku, hmm koreksi. Ia adalah obsesi kami, para mahasiswa kedokteran di universitas ini. Perempuan dengan kecantikan dan kepintarannya, mampu membuat kami bertaruh harga diri demi mendapatkannya.

“ Siapa yang bisa memacarinya, dapat akomodasi dan transportasi liburan ke Hongkong selama seminggu gratis, dan siapa yang kalah harus rela memberi nafas buatan ke tubuh-tubuh kaku di ruang mayat, yaiks"

Taruhan yang sangat menggiurkan. Disamping hadiahnya juga sosok yang dipertaruhkan.

Jangan sebut namaku Wisnu Ardhana kalau tak mampu mendapatkannya. Wajah tampan, bodi atletis, otak encer serta mobil keluaran terbaru yang selalui menyertaiku adalah modal telak tak terbantahkan untuk memenangkan perempuan manapun.

Awalnya aku pikir, akan ada adegan seperti di film-film Korea yang sering ditonton adikku. Si perempuan dengan kasar akan menolak si pria, menghindarinya, meneriakinya bagai musuh bebuyutan sampai adegan akhir dimana si perempuan akan klepek-klepek tertancap panah asmara. Benci-benci tapi rindu.

Tapi itu tidak terjadi. Dengan sedikit saja kukerahkan pesona Casannova-ku, menjemputnya setiap hari, membawakan diktat-diktat kuliahnya, membantunya mengorek-ngorek mayat di lab anatomi sampai memberinya kejutan candle light dinner romantis di restoran super mewah . Sekali tepuk, plak…. Arini jatuh ke pelukanku. 

Aku Wisnu Ardhana, perempuan mana yang bisa menolak pesonaku. 

Ah, sebenarnya aku sedikit kecewa. Pertaruhan yang aku kira akan berjalan sengit. Ternyata tak menemukan hambatan apapun. Tiket ke Hongkong dan Arini, keduanya ada di tanganku.

Terkadang aku tak habis pikir, bagaimana seorang perempuan berpendidikan tinggi seperti Arini, bisa termakan rayuan murahan pria-pria seperti aku. Tidakkah mereka bisa pergunakan sedikit saja logikanya untuk mengendus nafsu binatang dibalik tatapan lembut dan belaian sayang yang kami tunjukkan.

Ah, Arini………. Ternyata kau tidak semengagumkan bayanganku. Kalau sudah begini, apa lagi yang membuatku harus mempertahankanmu?

*****

“ coba pakai ini, siapa tahu kamu telat karena stress menghadapi ujian” kataku sambil menyerahkan sekotak test pack padanya.

Sambil menyeka air matanya Arini menerima kotak yang kusodorkan.

Sudah hampir dua menit, Arini tidak keluar juga dari toilet itu.

Sejujurnya hatiku dag dig dug menunggu hasilnya. Bagaimanapun juga, aku belum siap menjadi seorang ayah.

Aborsi??? 
sebejat-bejatnya seorang Wisnu, aku tidak akan menjadi seorang pembunuh. 

Tapi mengingat Arini adalah putri tunggal Prabuwijaya, mafia kelas kakap di kota ini, tak urung nyaliku pun ciut membayangkan apa yang mungkin kuhadapi kalau sampai aku tak mau bertanggung jawab terhadap putrinya. 
Huft nasib…. Nasib, Arini sial, Arini bodoh.. umpatku dalam hati.

Wisnu….. sekonyong-konyong Arini sudah berdiri di hadapanku.

Dag dig dug…. Jantungku semakin berdegup kencang menunggu apa yang akan dikatakannya.




POSITIF

MAMPUS AKU…….







Custom Post Signature